Minggu, 15 Agustus 2010

ASURANSI DALAM PANDANGAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Asuransi pada umumnya – termasuk asuransi jiwa – menurut pandangan Islam adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya masalah yang perlu dikaji hukum agamanya berhubung tidak ada penjelasan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Hadits secara eksplisit. Para Imam madzhab seperti Abu Hanifah (wafat 150 H/767 M), Malik (wafat 179 H/795 M), Syafi’I (wafat 204 H/819 M), Ahmad (wafat 241 H/855 M), dan Ulama’ mujtahidin lainnya yang semasa mereka (abad II dab III H/VIII dan XI M) tidak memberi fatwa hukum terhadap masalah asuransi, karena wacana syari’ah tentang asuransi tidak dikenal ummat Islam kecuali mulai abad XIII Hijriyah atau XIX Masehi, sedangkan di dunia Barat sekitar abad XIV M. )

Kita tidak mendapatkan wacana maupun penyebutan istilah ini dalam terminologi fikih klasik. Ulama fikih yang pertama kali menyinggung masalah ini adalah Muhammad Amin Ibnu ‘Abidin dalam komentar fiqh khasyiyah-nya yang berjudul ‘Raddul Muhtar ‘Ala Ad-Durril Mukhtar’ Syarah kitab ‘Tanwir al-Abshar’ dimana beliau dalam topik al-Musta’man bab Jihad menamakan kasus isti’manul kafir (pemberian asuransi kepada pebisnis kafir di dunia Islam) yang mirip dengan scurity dan lazim digunakan pada hubungan bisnis antar syarikat dagang asing. (Asy-Syanqithy, Dirasah Syar’iyah Li Ahammil ‘Uqud Al-Maliyah al- Mustahdatsah, 493).


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ASURANSI.
Menurut pasal 246 Wetboek van Koophandel (kitab Undang-Undang Hukum Dagang) asuransi dirumuskan sebagai suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (ansuran) sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi. Dalam rumusan itu dipahami bahwa asuransi terlibat dua pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang yang akan menderita karena sesuatu peristiwa yang belum terjadi. Sebagai kontra prestasi dari pertanggungan ini pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung. )

B. SEJARAH ASURANSI
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk asuransi perjalanan laut, yaitu pada abad 14 Masehi. Namun sebenarnya asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan sejumlah harta riba riba untuk kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang atas ribanya.
Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di dalamnya merupakan perjanjian yang bersifat riba, mengandung unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga saat ini, sebagaimana saat muncul pertama kali.
Kemudian pada abad 17 Masehi muncul asuransi di daratan, yaitu dikalangan bangsa Inggris. Pertama kali muncul dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah terjadi kebakaran hebat di London pada tahun 1666 Masehi. Kerugian yang diderita pada waktu itu tidak kurang dari 13 ribu rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini kemudian asuransi kebakaran kemudian menyebar ke banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat, serta semakin bertambah jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

C. MACAM-MACAM ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi dibagi dua macam, yaitu:
a) At-Ta’min At-Tijari (Asuransi Konvensional).
Yaitu sebagaimana pengertian umum dari asuransi tersebut, dan jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang ansuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Tapi jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun dan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan tersebut.
b) At-Ta’min At-Ta’awuni (Asuransi Tolong menolong/Sosial).
Yaitu berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian di antara mereka.
Jika premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut.

D. HUKUM ASURANSI.
Mengkaji hukum asuransi menurut syariat Islam sudah tentu dilakukan dengan menggunakan ijtihad yang lazim dipakai oleh Ulama’ Mujtahidin dahulu. ) Dan diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam meng-istimbat-kan hukum (mencari dan menetapkan hukum) terhadap masalah-masalah baru yang tidak ada Nasnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah maslahah mursalah atau istishlah (public good) dan Qiyas (analogical reasoning).

Untuk dapat memakai maslahah mursalah dan qiyas sebagai landasan hukum (dalil syar’i) harus memenuhi syarat rukunnya. Misalnya maslahah mursalah baru bisa dipakai sebagai landasan hukum, jika: 1. kemaslahatannya benar-benar nyata, tidak hanya asumtif atau hipotesis saja; 2. kemaslahatnya harus bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan tertentu saja; dan 3. tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. ) Demikian pula pemakaian qiyas sebagai landasan hukum harus memenuhi syarat rukunnya. Diantaranya yang terpenting adalah adanya persamaan illat hukumnya (motif hukumnya) antara masalah baru yang sedang dicari hukumnya dengan masalah pokok yang sudah ditetapkan hukumnya.

Apabila maslahah mursalah atau qiiyas dipakai sebagai landasan hukum agama secara serampangan, maka akan terjadi kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya akan menimbulkan kebingungan pada umat Islam.

Kini umat Islam di Indonesia dihadapkan kepada masalah asuransi dalam berbagai bentuknya (asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, dan sebagainya) dalam berbagai aspek kehidupannya, baik kehidupan bisnisnya, kehidupan keagamaannya, dan sebagainya (para pegawai/karyawan dan orang pergi haji diasuransikan). Dan masalah asuransi perlu dibedakan dengan masalah Porkas dan sebagainya, karena dalam masalah ini, tampaknya para Ulama’ dan cendikiawan Muslim telah mencapai consensus tentang hukum (haram), sedangkan masalah asuransi tidak demikian.
Pembahasan tentang asuransi dalam fiqih tidak terlepas dari klasifikasi asuransi menjadi dua kategori; yakni asuransi yang bersifat komersial (ta’min tijari) dan asuransi yang bersifat sosial (ta’min ta’awuni/takafuli).

Asuransi pada dasarnya adalah termasuk mu’amalat. Hukumnya boleh (mubah) apabila akadnya bersifat sosial (‘aqd tabarru’/ta’awuni) dan selama hal itu terbebas dari unsur riba (sistem bunga), judi (maisir) dan penipuan (gharar) yang sering terjadi pada asuransi konvensional dan bersifat komersial (‘aqd tijari). Selain itu modal asuransi ta’awuni harus ditanam pada bidang investasi atau usaha yang halah. Hal ini berdasarkan dalil sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang meletakkan landasan dan kerangka ta’awun dan takaful antarsesama mukmin diantaranya;


QS. At-Taubah:71)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ.
Artinya;
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”



QS. Al-Maidah:2)
... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya;
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

QS. Al-Anfal:73)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya;
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang Telah diperintahkan Allah itu[625], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
[625] yang dimaksud dengan apa yang Telah diperintahkan Allah itu: keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin.

Kaidah fikih menegaskan:
الأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَ الْمُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِِيْمِهِ
(Hukum asal transaksi dan mu’amalat adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya).

Hukum mubah tersebut dapat meningkat menjadi sunnah bahkan wajid tatkala kondisi umat sangat membutuhkan adanya asuransi ta’awuni/takafuli yang berlandaskan syari’ah agar terhindar dari jeratan praktik ribawi pada asuransi konvensional. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban mengembangkannya pertama kali.

Unsur riba yang terdapat dalam asuransi terletak pada adanya kelebihan penerimaan jumlah santunan atas pembayaran premi bukan dari investasi mudharabah yang halal. Sedangkan unsur judi yang terdapat di dalamnya adalah sifat untung-untungan bagi tertanggung yang menerima jumlah tanggungan yang lebih besar daripada premi. Atau sebaliknya penanggung akan menerima keuntungan jika dalam masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang telah ditentukan dalam perjanjian dan premi yang telah terbayarkan tidak dapat dimanfaankan oleh pemegang polis bila membutuhkan. Sementara itu yang termasuk unsur penipuan adalah adanya ketidakpastian apa yang akan diperoleh si tertanggung sebagai akibat dari apa yang belum tentu terjadi, ataupun hangusnya premi yang disetor karena tidak dapat melanjutkan pembayaran premi atau pihak perusahaan asuransi berusaha untuk mengelak dari klaim pemegang polis, atau sebaliknya pemegang polis merekayasa kerugian untuk menuntut klaim dan pembayaran santunan yang lebih besar.

Asuransi ta’awuni termasuk ‘uqud tabarru’ yang tidak sama dengan judi, karena asuransi ta’awuni bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial serta membawa mashlahat bagi pribadi dan keluarga. Di samping itu penjudi selalu mengharap keuntungan dan menang dalam taruhannya. Sedangkan dalam asuransi ini pemegang polis tidak ingin memperoleh sejumlah uang dengan memikul resiko mati atau peristiwa yang merugikan lainnya. dia lebih memilih selamat.

Kemudian dalam judi biasanya akan timbul rasa permusuhan dan kebencian antara sesama penjudi atau dengan bandarnya yang hal ini tidak dikenal pada asuransi ta’awuni. Bahkan sebaliknya asuransi ta’awuni justru memberikan ketentraman bagi para pemegang polis. Ini karena di dalam asuransi ta’awuni terdapat unsur tolong menolong dalam kebaikan dan terdapat manfaat yang dirasakan oleh penanggung maupun tertanggung. Bahkan ditegaskan syari’ah bahwa usaha mencari dan mendapatkan ketemtraman, ketenangan serta rasa aman adalah usaha yang sangat penting, dibutuhkan oleh setiap orang dan dapat digolongkan pada masalah dharuriyat. Dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Sa’id bin Abi Waqas disebutkan:

“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan daripada mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.”

Guru besar hukum Islam fakultas syari’ah Universitas Syiria, Mustafa Ahmad Zarqa serta Muhammad al-Bani, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa dan Muhammad Abu Zahrah termasuk yang membolehkan asuransi ta’awuni dengan syarat terbebas dari unsur-unsur yang ditentang syari’ah. Demikian pula fatwa yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional Ekonomi Islam I yang diadakan di Makkah pada tahun 1976 M dan fatwa Lembaga Fikih Liga Dunia Islam (Rabitha “alam Islami) tahun 1398 H serta Dewan Pengawas Bank Islam Faishal Sudan. Semua lembaga tersebut memutuskan haramnya asuransi konvensional komersial (ta’min tijari) yang menjalankan praktek riba dan cenderung gambling serta gharar kecuali pada kondisi hajah muta’ayyinah (kebutuhan kasuistik tak terhindarkan) di mana tidak ada alternatif lain ataupun tidak ada pilihan menolak seperti pada pengguna jasa kendaraan umum yang telah diasuransikan dalam asuransi Jasa Raharja ketika membeli tiket, atau bagi perusahaan maupun pekerjaan dan pegawai dalam kontrak tidak terlepas dari asuransi konvensional. Sekaligus fatwa-fatwa tersebut merekomendasikan pengembangan lembaga-lembaga asuransi syari’ah yang bersifat ta’awuni (sosial) agar lebih profesional sesuai dengan tuntutan maslahat.

Di kalangan Ulama’ dan cendikiawan Muslim ada empat pendapat tentang hukum asuransi, yakni :

Pertama: mengharamakan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini; termasuk asuransi jiwa;

Pendapat pertama didukung antara lain Sayid Sabiq, pengarang Fiqhus Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Mufti Yordania, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, pengarang al-Halal wal Haram fil Islam, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, Mufti Mesir. Alasan-alasan mereka yang mengharamkan asuransi antara lain :

1) Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi.
2) Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty)
3) Mengandung unsur riba/rente.
4) Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
5) Premi-premi yang telah dibayar oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit berbunga).
6) Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai. (cash an carry).
7) Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa ).

Kedua : membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini;

Pendukung pendapat kedua antara lain : Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Syiria, Muhammad Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang Al-Muamalat al-Haditsah wa Ahkamuha. Alasan mereka yang memperbolehkan asuransi termasuk asuransi jiwa antara lain :

1) Tidak ada nas Al-Qur’an dan Al-Hadits yang melarang asuransi.
2) Ada kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak.
3) Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4) Mengandung kepentingan umum (maslahah ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
5) Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS).
6) Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah).
7) Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.)

Ketiga: membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial.

Pendukung pendapat ketiga antara lain : Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Alasan mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan pendapat partama. )

Keempat: menganggap shubhat.

Adapun alasan mereka yang menganggap asuransi syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’I yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekuensinya adalah dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan (necessity). )

Setelah mengetahui beberapa pendapat Ulama’ serta proses istimbatnya maka dapat diketahui bahwa asuransi dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Asuransi Konvensional yang mana cenderung bahkan mempraktekkan praktik riba dan judi sehingga hukum dari asuransi tersebut adalah haram sebagaimana hukum riba dan judi.
2) Asuransi Ta’awuni yang terdapat unsur tolong menolong dalam kebaikan dan termasuk ‘uqud tabarru’ yang tidak sama dengan judi, karena asuransi ta’awuni bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial serta membawa mashlahat bagi pribadi dan keluarga dan juga terdapat manfaat yang dirasakan oleh penanggung maupun tertanggung, maka hukumnya adalah boleh.


BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Asuransi Ta’awuni yang terdapat unsur tolong menolong dalam kebaikan dan termasuk ‘uqud tabarru’ yang tidak sama dengan judi, karena asuransi ta’awuni bertujuan mengurangi resiko dan bersifat sosial serta membawa mashlahat bagi pribadi dan keluarga dan juga terdapat manfaat yang dirasakan oleh penanggung maupun tertanggung, maka hukumnya adalah boleh.

Asuransi Konvensional yang mana cenderung bahkan mempraktekkan praktik riba dan judi sehingga hukum dari asuransi tersebut adalah haram sebagaimana hukum riba dan judi.

B. SARAN
Setelah kita ketahui hukum asuransi. Maka kita harus pandai-pandai dalam memilah mana yang termasuk asuransi konvensional dan mana yang termasuk asuransi ta’awuni.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Madjid, Ahmad. 1993. Masa’il Fiqhiyyah. Pasuruan Jatim. PT. Garoeda Buana Indah.
Budi Utomo, Setiawan. 2000. Fikih Kontemporer. Jakarta. Pustaka Saksi.

Jabir, Abu Bakar Al Jazairi. 2000. Minhajul Muslim. Jakarta. Daarul Falah.

Syariah Online [2004-02-08]

Zuhdi, Masjfuk. 1989. Masa’il Fiqhiyyah. Malang. CV. Haji Masagung.

1 komentar:

  1. Terima Kasih Atas paparan ASURANSI DALAM PANDANGAN ISLAMnya, sangat berguna yang sedang atau akan memilih atau mengetahui info asurasi, manfaat, dan perusahan asuransi, khususnya asuransi kesehatan, pendidikan :)

    Baca juga ya paparan saya mengenai Review Produk Perlindungan Asuransi Kesehatan Dengan Unit Link Commonwealth Life

    BalasHapus